RINDU BAYANGAN - ALFAT WISNUWARDANA


 Malang - Malam Jum’at di sudut keheningan yang mencekam dan membungkam jiwa. Penanggalan telah berpijak pada angka 16 November 2017. Sungguh waktu terasa begitu cepat berlari tanpa menghiraukan aku yang tenggelam dalam keheningan. Hujan deras yang mengguyur bumi dengan kejam laksana ikut berdendang dengan keterpurukan ku saat ini.  Badanku enggan beranjak dari sofa berwarna merah hati yang empuk dan selalu menawarkan kenyamanan, siapa pun akan betah mendudukinya.

Secangkir kopi tak lagi menghangatkan, tenggorokan tak lagi merasakan dahaga ataupun rindu dengan manisnya minuman malam. Perutku sudah tak lagi meronta kencang.

Jam terus berdetak, tanpa terasa telah merujuk pada pukul 23.30 malam. Aku tak kunjung memejamkan mata, meski hasrat ingin istirahat begitu kuat. Hanya ku pandangi tempat tidurku, yang didiami oleh dua bantal guling beserta satu selimut tebal.

“Secepat inikah?”

Aku bertanya pada diriku sendiri. Aku merasa linglung, padahal tak kutenggak secangkir vodka ataupun anggur merah. Kehampaan menyelimuti. Mataku yang berkantung kembali menetes. Kali ini tak sederas pagi tadi, namun hati masih berkecamuk menerjang ke sana-kemari. Tak karuan!

Kembali bergumul dengan sedih. Terbelenggu rantai-rantai derita yang mengekang sekujur badan. Dan tiba-tiba saja, sebuah suara lembut memecah kesunyian.

“MaS.......”

Aku sangat mengenali suara itu. Wajahku yang basah berganti dengan wajah sumringah. Tak kusangka dia mendengar semua gemuruh rasaku.

“Mas….” suara itu terus terdengar. 

Suara itu samar-samar terdengar dan semakin lama semakin jelas. Mendekat.

“Jihan.. Kau dimana? Izinkan aku menumpahkan semua rinduku ini, Jihan,”

“Aku di sampingmu, Mas,”

Terkejut kala aku melihat dia sudah duduk di sampingku, mengenakan kerudung putih. Gaun panjang berwarna putih bermotif bunga membuat tampilannya sedap dipandang. Tak lupa senyum manis menoreh di pipinya yang sedikit tembem.

“Kau .... Kau kah ini?”

Jihan hanya tersenyum manis. Aku tak percaya, namun sedikit lega masih dapat melihat senyumnya. Setidaknya dapat meredam tangisku agar tak kembali tumpah ruah.

Aku arahkan tanganku ke pipinya, ingin aku belai lembut. Dengan cepat ia menjauh sembari menutup pipinya, aku justru semakin gemas.

“Ada apa sayangku? Tak bolehkah aku membelai pipimu yang merona itu?”

Jihan kembali tersenyum.

“Aku tak melarangmu, Sayang. Aku minta kau sadar. Aku tahu hatimu rindu, begitupun diriku,”

“Lalu kenapa? Tak biasanya kau seperti ini?”

Sejenak aku dan Jihan terpaku berpandangan. Tatapan matanya yang indah memancar cemerlang, Jihan yang telah menghiasi relung hidupku selama empat tahun ini. Angin-angin malam berusaha mencari celah agar dapat menembus ruangan yang remang-remang.

“Jihan. Kembalilah padaku...”

“Mas, sadarlah. Aku tak bisa bersamamu seperti dulu lagi. Sadarlah!”

Berulang kali. Jihan meminta supaya aku sadar. Sadar seperti apa yang ia maksud, aku tak dapat menangkap apa yang diucapkannya.

“Jihan. Ada apa denganmu?”

Aku menatap wajahnya yang begitu imut. Wajah nan elok yang selalu membayangiku sebelum beranjak ke peraduan.

“Sayang. Simpan saja perjalanan hidup yang pernah kita lalui bersama. Aku bersyukur bisa mengenalmu dan merasakan belai kasihmu”

Aku masih seperti orang bodoh. Bingung memahami tingkah Jihan yang tak seperti biasanya.

“Jihan......”

Jihan terdiam. Dia hanya menunduk, bibirnya berat dan kaku untuk bicara. Perlahan lahan dia mendekat hingga tepat di hadapanku. 

Hatiku bergetar, tanganku berusaha aku tahan agar tak menyentuhnya sedikitpun. Jihan pun mulai mencoba menjelaskan, matanya sedikit memerah. Mengundang tangis.

“Apakah kau lupa, alam kita sudah berbeda. Tiga lalu aku dimakamkan!”

Ucapan Jihan menyambar seperti guntur di tengah malam. Aku tersentak, lalu berdiri dari sofa empukku. Aku pandangi wajah Jihan dengan penuh tanda tanya. Masih tak percaya dengan apa yang aku lihat.

“Terima kasih atas Alfatihah yang selalu kau khususkan untukku. Aku akan hadir kala rindumu menyapa.”

Di tengah kebingunganku, aku melihat kerudung putih yang terurai di atas bantalku. Segera aku mengambilnya dan membawanya ke hadapan Jihan.

“Kerudungmu!”

“Simpanlah baik-baik, anggap sebagai gantiku.”

Perlahan tercium aroma kembang setaman menebar dan membius ruanganku. Udara malam yang menusuk tak mau ketinggalan, ikut hanyut bersama harumya kembang setaman yang menyengat.

Jihan berdiri dari tempatnya, mendekat ke arahku. Wajahnya meneteskan air mata, namun ia berusaha tetap tersenyum. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya. Kemudian dia agak menjauh dan menjauh. Ia lambaikan tangan lalu menghilang bersama kabut. Kepergiannya menyisakan aroma kembang yang masih menyengat. Rinduku membeku, tangisku kembali menderu. 

“Jihaan ............”

Aku jatuh terduduk, berteriak merobek keheningan  malam sembari menangis di atas kerudung putih milik Jihan. Kerudung yang diberikannya untuk menemaniku. Dan baru kusadari, Jihan telah tiada.

----------------

TAMAT

Malang, 16 November 2017


Belum ada Komentar untuk "RINDU BAYANGAN - ALFAT WISNUWARDANA "

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel