PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM PROSES PEMBELAJARAN SANTRI PONDOK PESANTREN AL KARIMI PADA MASA PANDEMI COVID-19

 

PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM PROSES PEMBELAJARAN SANTRI PONDOK PESANTREN AL KARIMI PADA MASA PANDEMI COVID-19

Agil Muhammad Kamal

UIN Maulana Malik Ibrahim

19170063@student.uin-malang.ac.id

 

Abstrak

Penerapan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Pondok Pesantren Al Karimi Gresik Jawa Timur. Penerapan menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara terhadap pimpinan pesantren, para santri,dan masyarakat sekitar pesantren. Analisis data menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian membuktikan bahwa walaupun secara infrastruktur dan sistem aplikasimasih relatif terbatas, pimpinan pondok pesantren memiliki komitmen yang kuat dalam memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi di pondok pesantren. Keterbatasan infrasruktur diatasi dengan mengoptimalkan produk Teknologi Informasi dan Komunikasi  yang dimiliki masing-masing santri dan masyarakat. Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi,pembelajaran agama menjadi dinamis dan menarik, media dan konten lebih beragam (teks,gambar, audio, video, animasi, dan simulasi), waktu dan tempat belajar lebih fleksibel,serta para santri dilatih membuat konten untuk berbagi melalui internet. Begitu pula pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dapat menggerakan kembali budaya dan kearifan lokal (Jagong Maton) serta pemberdayaan masyarakat (Posdaya) di sekitar pesantren.

 

Kata Kunci    : teknologi informasi dan komunikasi,teknologi informasi dan komunikasi di pondok pesantren, Al Karimi ICT, covid-19

 


I.     PENDAHULUAN

Sejak pertengahan Juni 2020 pesantren mulai membuka kembali aktivitas pembelajarannya. Hal itu dapat dilihat pada berbagai pesantren di Jawa Barat (Kamil, 15 Juni 2020), Jawa Tengah (Safuan, 19 Juni 2020), dan Jawa Timur (Wijaya, 16 Juni 2020). Pembukaan aktivitas pembelajaran di pesantren di masa pandemi covid-19 tersebut menarik untuk dikaji, karena pendidikan pesantren merupakan pendidikan keagamaan berasrama di mana para santri hidup dalam proses interaksi yang berlangsung secara terus menerus.

Daya tampung asrama pesantren pada umumnya terbatas, sarana mandi, cuci, dan kakus yang digunakan secara bersama, dan sanitasi lingkungan pesantren secara kuantitas juga terbatas. Dengan segala keterbatasan itu, dikhawatirkan pesantren akan menjadi klaster baru penyebaran Covid-19. Terlebih hingga pertengahan Juli 2020 ini, ditemukan penyebaran Covid-19 di beberapa pondok pesantren antara lain: Al Fatah Temboro di Magetan, Gontor di Ponorogo, Sempon di Wonogiri, serta pesantren di Kota Tangerang dan Pandeglang Provinsi Banten. Untuk mengantisipasi penyebaran Covid-19 di pesantren, pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 2,7 triliun untuk 21.000 pesantren di seluruh Indonesia. Tulisan ini menganalisis apa yang harus dilakukan agar pesantren tidak menjadi klaster baru penyebaran Covid-19 dan mengapa pesantren memandang perlu melaksanakan pembelajaran tatap muka di masa pandemi.

 

II.  PEMBAHASAN

Pesantren yang melakukan pembelajaran tatap muka saat pandemi Covid-19 perlu mematuhi pedoman penyelenggaraan pembelajaran tatap muka di pesantren yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Agama dan mematuhi protokol kesehatan. Komisi VIII DPR mendukung Kementerian Agama membuka kembali aktivitas belajar di pesantren dengan syarat wajib menerapkan protokol Covid-19 yang ketat. Dalam pedoman disebutkan bahwa pesantren perlu memperhatikan empat ketentuan utama penyelenggaraan pembelajaran tatap muka di pesantren saat pandemic Covid-19, yakni: (1) membentuk gugus tugas percepatan penanganan Covid-19; (2) memiliki fasilitas yang memenuhi protokol kesehatan; (3) aman dari Covid-19, dibuktikan oleh surat keterangan dari gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 atau pemerintah daerah setempat; (4) pimpinan, pengelola, pendidik, dan peserta didik dalam kondisi sehat yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat dari fasilitas pelayanan kesehatan setempat

 

Sementara protokol kesehatan yang perlu dipatuhi oleh setiap warga pesantren yang telah kembali untuk beraktivitas di pesantren adalah membersihkan ruangan dan lingkungan secara berkala dengan desinfektan; menyediakan sarana cuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir di toilet, kelas, ruang pengajar, pintu gerbang, setiap kamar/asrama, ruang makan dan tempat lain yang sering diakses.

Jika tidak terdapat air, dapat menggunakan pembersih tangan (hand sanitizer); serta memasang pesan kesehatan cara cuci tangan yang benar, cara mencegah penularan Covid-19, etika batuk/ bersin dan cara menggunakan masker yang benar. Selain itu, membudayakan penggunaan masker, jaga jarak, cuci tangan pakai sabun, dan menerapkan etika batuk/bersin yang benar. Bagi yang tak sehat atau memiliki riwayat berkunjung ke negara atau daerah terjangkit Covid-19 dalam 14 hari terakhir harus segera melapor pada pengelola pesantren. Warga pesantren diimbau agar menggunakan kitab suci dan buku/bahan ajar pribadi, serta menggunakan peralatan ibadah pribadi yang dicuci secara rutin; menghindari penggunaan alat mandi dan handuk secara bergantian; melakukan aktivitas fisik, seperti senam setiap pagi, olahraga, dan kerja bakti secara berkala dengan tetap menjaga jarak; menganjurkan untuk mengonsumsi makanan yang sehat, aman, dan bergizi seimbang; melakukan pemeriksaan kondisi kesehatan paling sedikit satu kali dalam satu minggu dan mengamati kondisi umum secara berkala. Warga pesantren dengan suhu lebih dari 37,3oC tidak diizinkan memasuki asrama, dan pihak pesantren segera menghubungi petugas kesehatan setempat. Jika suhu badan tinggi yang disertai dengan gejala batuk, pilek, sakit tenggorokan, dan/ atau sesak nafas segera dibawa ke fasilitas pelayanan kesehatan. Jika ditemukan peningkatan jumlah warga pesantren dengan gejala di atas, pesantren harus segera melaporkan ke fasilitas pelayanan kesehatan atau dinas kesehatan setempat. Di samping itu pesantren perlu menyediakan ruang isolasi yang terpisah dari kegiatan pembelajaran dan aktivitas lain. Pesantren yang telah siap melakukan pembelajaran tatap muka kembali pada masa pandemic Covid-19, tentu saja sangat menyadari kemungkinan risiko terburuk yang akan dihadapi misalnya santri atau warga pesantren lainnya, seperti ustaz dan pengasuh pesantren terkena Covid-19. Namun demikian, pembelajaran tatap muka dan mengundang santri untuk kembali ke pesantren harus dilakukan oleh pesantren untuk mencapai visi dan misi pendidikan pesantren. Visi pesantren secara umum sebagai pusat pendidikan keagamaan Islam yang mampu melahirkan santri yang menguasai ilmu agama dan ilmu-ilmu lainnya sesuai ciri khas masing-masing pesantren, beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa.

 

Sementara misi pesantren pada umumnya adalah melaksanakan pendidikan keagamaan sesuai ciri khas masing-masing pesantren, membiasakan santri untuk beribadah wajib maupun sunnah, membiasakan membaca Alquran, membiasakan santri berzikir, membiasakan santri membaca dan mengkaji kitab-kitab keagamaan klasik di bawah bimbingan ustaz atau pengasuh pesantren.

 

Ciri khas pendidikan keagamaan masing-masing pesantren tidak sama, ada pesantren yang fokus pada penguasaan kitab-kitab keagamaan di bidang fikih (hukum Islam); penguasaan kitab-kitab di bidang tafsir dan ilmu-ilmu Alquran; penguasaan di bidang agama dan bahasa Arab maupun Inggris; hafalan Alquran; penguasaan pada kitabkitab hadis Nabi; serta penguasaan pada ilmu di bidang bahasa Arab saja; Ciri khas tersebut menuntut pelaksanaan pembelajaran tatap muka dengan kehadiran santri di pesantren, tidak bisa menggunakan pembelajaran jarak jauh. Hal ini bukan dikarenakan pesantren menghadapi kendala teknis seperti jaringan internet atau lainnya.

 

Di samping itu, titik tekan pendidikan pesantren bukan pada transformasi pengetahuan saja, melainkan pada pembentukan karakter dan pengetahuan keagamaan yang sudah diterima oleh santri melalui pembelajaran harus dipraktikkan dalam kehidupan keseharian santri di pesantren. Dalam konteks seperti itu, pendidikan pesantren dapat disebut sebagai pola pembelajaran dua puluh empat jam, pembelajaran bukan saja tatap muka di kelas, tetapi juga dalam aktivitas sehari-hari. Seluruh aktivitas santri adalah pembelajaran dan habituasi ajaran agama Islam dalam lingkup kehidupan pesantren. Pembiasaan seperti itu dapat disebut sebagai living Islam atau Islam yang hidup yang dipraktikkan oleh warga pesantren.

 

Pada pendidikan pesantren kita bakal menemukan empat pilar pendidikan yang digagas UNESCO, yakni: (1) learning to know (belajar untuk mengetahui), (2) learning to do (belajar untuk terampil melakukan sesuatu), (3) learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan (4) learning to live together (belajar untuk menjalani kehidupan bersama).

Pilar learning to know kita temukan pada proses pembelajaran di mana ustadz tidak hanya mengajar tetapi juga berdialog, dan menuntun, serta membimbing santri menguasai pengetahuan keagamaan. Pilar learning to do, dapat dilihat pada apa yang sudah dikaji, dipelajari dibiasakan untuk diaktualisasikan. Pesantren juga sangat memperhatikan bakat dan minat santri yang merupakan praktik dari pilar learning to be. Sementara pilar learning to live together dapat dilihat pada kehidupan asrama santri, sejak awal mereka sudah dibiasakan untuk hidup bersama, saling menghargai perbedaan, dalam konteks hidup bersama itu para santri dibiasakan mempraktikkan nilai-nilai keislaman dan nilai-nilai luhur bangsa. Pola pendidikan seperti itu, tidak bisa dilakukan secara daring atau pembelajaran jarak jauh. Proses belajar mengajar di pesantren secara normatif memang tidak terlalu berbeda dengan proses belajar pengajar di institusi pendidikan nonpesantren (Masmuh, 19 Juni 2020). Tetapi, pembelajaran yang menerapkan living Islam dan secara tidak langsung menerapkan empat pilar pendidikan UNESCO, yakni belajar hidup bersama tidak bisa diwakili atau digantikan oleh pembelajaran jarak jauh.

 

Penerapan pembelajaran living Islam dan learning to live together dalam bingkai nilai-nilai Islam dan nilai-nilai nasionalisme tidak bisa dilatih melalui daring, tetapi harus langsung dipraktikkan melalui pengalaman di pesantren. Praktik pembelajaran semacam itu juga tidak dapat ditunda hingga masa pandemi Covid-19 yang tidak ada kepastian kapan berakhir. Karena itulah pesantren memilih membuka kembali pembelajaran tatap muka di pesantren dengan memperhatikan ketentuan pembelajaran tatap muka yang telah ditetapkan oleh pemerintah dan berupaya sekuat mungkin untuk menaati protokol kesehatan.

III. PENUTUP

Penerapan pembelajaran tatap muka di pesantren merupakan kegiatan pembelajaran yang tidak bisa dihindari dan tidak bisa digantikan dengan pola pembelajaran lain seperti pembelajaran jarak jauh. Hal ini dikarenakan pendidikan pesantren tidak hanya menerapkan pembelajaran yang bertujuan transformasi pengetahuan semata tetapi juga menerapkan pembelajaran praktik langsung atas pengetahuan yang sudah dan sedang diajarkan kepada para santri. Praktik langsung ini mengharuskan pembelajaran tatap muka dan kehadiran santri secara fisik di pesantren. Pola pembelajaran seperti itu merupakan pola pembelajaran living Islam dan pola pembelajaran bagaimana hidup bersama dalam kerangka pembentukan karakter santri. Proses pembelajaran tatap muka yang dilakukan pesantren di tengah pandemi Covid-19 tak perlu terlalu dikhawatirkan. DPR RI perlu mengawasi pemerintah agar pesantren terus mempraktikkan pedoman pembelajaran tatap muka dan menaati protokol kesehatan dengan ketat. Di samping itu, DPR RI khususnya Komisi VIII yang membidangi pendidikan keagamaan perlu mendorong Kementerian Agama agar anggaran sebesar Rp2,599 triliun yang dialokasikan untuk membantu 21.173 pesantren di seluruh Indonesia dapat dilaksanakan dengan cepat dan tepat sasaran.

 

Belum ada Komentar untuk "PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM PROSES PEMBELAJARAN SANTRI PONDOK PESANTREN AL KARIMI PADA MASA PANDEMI COVID-19"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel